Jumat, 25 Juli 2014

Pura Tanah Lot




Pura Tanah Lot Pura Tanah Lot ini terletak di Pantai Selatan Pulau Bali yaitu di wilayah kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Pembangunan pura ini erat kaitannya dengan perjalanan Danghyang Nirartha di Pulau Bali. Di sini beliau pernah tinggal dan mengajar agama dalam perjalanannya dari Pura Rambut Siwi menuju Badung.
Pujawali diadakan tiap Buda Wage Langkir. Pelinggih utamanya ada dua, satu untuk memulyakan Hyang Widi dalam manifestasinya sebagai Batara Baruna dan satu lagi untuk Danghyang Nirarta sebagai pendiri tempat ini.
Dahulu Pura Kahyangan ini diberi nama Pura Pekendungan, sekarang lebih dikenal dengan Pura Tanah Lot sebagai salah satu penyungsungan jagat. Kini Pura Kahyangan ini tidak saja dikenal di seluruh Nusantara, tetapi sudah ke seantero dunia. Pemandangan alamnya merupakan obyek wisata yang disukai wisatawan
Suatu ketika, Danghyang Niratha melakukan perjalanan dari Pura Rambut Siwi yaitu pada sekitar tahun Icaka 1411 (1489M). Dalam perjalannya itu beliau dibuntuti oleh banyaknya anggota masyarakat yang mengikuti karena mengharapkan berkahnya. Ketika sampai di desa Beraban beliau menemukan tempat yang baik untuk bermalam dan sekaligus mengajar agama. Tempat itulah yang akhirnya dibangunnya menjadi sebuah pura yang sekarang memikat perhatian seluruh dunia karena indahnya.

PURA ANDAKASA









Di ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan laut, Pura Luhur Andakasa tepatnya berada pada posisi geografis 8 derajat 30 LS dan 115 derajat 30' BT. Pura besar ini diwilayahi desa adat Angantelu, di daerah kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Dari Denpasar, pura ini dicapai dalam jarak sekitar 60 km - arah ke timur, atau 20 km di timur kota Semarapura - ibu kota Kabupaten Klungkung.

 

  • Piodalan: Anggara Kliwon Wuku Medangsia.
  • Di samping ada pujawali setiap 210 hari, juga diselenggarakan upacara pecaruan setiap Anggara Kliwon pada wuku Perangbakat, wuku Dukut dan wuku Kulantir.

Tidak begitu jelas memang sejarah berdirinya. Namun keberadaannya disebutkan dalam beberapa peninggalan tertulis seperti lontar-lontar dan peninggalan kepurbakalaan. Dari peninggalan tertulis, diperkirakan pura ini didirikan oleh Mpu Kuturan sekitar abad XI. Di samping itu Pura Luhur Andakasa juga memiliki kaitan dengan pemuka agama Hindu Sang Kulputih, yang pernah bertapa di tempat ini sebelum menuju Lempuyang dan Besakih. Dan berdasarkan observasi pada area-area di pura ini dapat diduga pura ini mengalami perkembangan dan perbaikan sekitar abad 17 - 18 Masehi. Sebuah prasasti terdapat di Pura Panyimpenan Pura Luhur Andakasa, namun tidak tertulis pada prasasti itu keberadaan pura ini. Seperti dikemukakan dalam berbagai lontar, Pura Luhur Andakasa berstatus sebagai salah satu Kahyangan Jagat, juga Sad Kahyangan yang berarti menjadi sungsungan seluruh umat Hindu di Bali khususnya, umumnya di Indonesia. Sebagai Kahyangan Jagat, Pura Luhur Andakasa merupakan stana dari Hyang Tugu atau Dewa Brahma yang menguasai kawasan selatan dalam struktur Dewata Nawasanga, manifestasi Hyang Widhi yang menghuni 9 arah mata angin.
Puja Brahma di Andakasa

Katuturaning usana Bali: ''Cinaritaken tingkahing bumi Bali, hana gunung CaturLoka Pala, nga, nanging tingkahing gunung ika marapat, luwire maring pruwa Gunung Lempuhyang nga, pangastanan Ida Bhatara Agni Jaya, maring pascima Gunung Bheratan nga, pangastanan Ida Bhatara Watukaru, maring utara Gunung Mangu nga, pangastanan Ida Hyang Dhenawa, maring Daksina Gunung Andakasa nga, pagastanan Ida Hyanging Tugu. (Kutipan Lontar Usana Bali).
Maksudnya:
Inilah keterangan Usana Bali menceritarakan keadaan bumi Bali ada Gunung Catur Loka Pala namanya. Letaknya di keempat penjuru yaitu di timur Gunung Lempuhyang stana Ida Batara Agni Jaya, di barat Gunung Bheratan stana Batara Watukaru, di utara Gunung Mangu stana Batara Hyang Dhenawa, di selatan Gunung Andakasa namanya stana Hyanging Tugu.
Pura Andakasa adalah pura kahyangan jagat yang terletak di Banjar Pakel Desa Gegelang Kecamatan Manggis, Karangasem. Pura ini didirikan atas konsepsi Catur Loka Pala dan Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan empat manifestasi Tuhan untuk memotivasi umat mendapatkan rasa aman atau perlindungan atas kemahakuasaan Tuhan. Keempat pura itu dinyatakan dalam kutipan Lontar Usana Bali di atas. Mendapatkan rasa aman (raksanam) dan mendapatkan kehidupan yang sejahtera (danam) sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib diupayakan oleh para pemimpin atau kesatria. Demikian dinyatakan dalam Manawa Dharmasastra I.89.
Usaha manusia itu tidak akan mantap tanpa disertai dengan doa pada Tuhan. Memanjatkan doa pada Tuhan untuk mendapatkan rasa aman (raksanan) di segala penjuru bumi itulah sebagai latar belakang didirikannya Pura Catur Loka Pala di empat penjuru Bali. Di arah selatan didirikan Pura Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Hyanging Tugu. Hal ini juga dinyatakan dalam Lontar Babad Kayu Selem. Sedangkan dalam Lontar Padma Bhuwana menyatakan: ''Brahma pwa sira pernahing daksina, pratistheng kahyangan Gunung Andakasa.'' Artinya Dewa Brahma menguasai arah selatan (daksina) yang dipuja di Pura Kahyangan Gunung Andakasa.
Yang dimaksud Hyanging Tugu dalam Lontar Usana Bali dan Babad Kayu Selem itu adalah Dewa Brahma sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta.
Pura Andakasa juga salah satu pura yang didirikan atas dasar konsepsi Sad Winayaka untuk memuja enam manifestasi Tuhan di Pura Sad Kahyangan. Memuja Tuhan di Pura Sad Kahyangan untuk memohon bimbingan Tuhan dalam melestarikan sad kertih membangun Bali agar tetap ajeg -- umatnya sejahtera sekala-niskala. Membina tegaknya Sad Kertih itu menyangkut aspek spiritual yaitu atma Kertih. Yang menyangkut pelestarian alam ada tiga yaitu samudra kertih, wana kertih dan danu kertih yaitu pelestarian laut, hutan dan sumber-sumber mata air. Sedangkan untuk manusianya meliputi jagat kertih membangun sistem sosial yang tangguh dan jana kertih menyangkut pembangunan manusia individu yang utuh lahir batin.
Jadinya pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dengan media pemujaan dalam wujud Pura Catur Loka Pala dan Sad Winayaka untuk membangun sistem religi yang aplikatif. Sistem religi berupaya agar pemujaan pada Tuhan Yang Maha Esa itu dapat berdaya guna untuk memberikan landasan moral dan mental.
Pura Andakasa dalam kesehariannya didukung oleh dua desa pakraman yaitu Desa Pakraman Antiga dan Gegelang. Menurut cerita rakyat di Antiga didapatkan penjelasan bahwa pada zaman dahulu di Desa Antiga ada tiga butir telur jatuh dari angkasa. Tiga telur tersebut didekati oleh masyarakat. Tiba-tiba telur itu meledak dan mengeluarkan asap. Asap itu berembus dari Desa Antiga menuju tiga arah. Ada yang ke barat daya, ke barat laut dan ke utara. Masyarakat Desa Antiga mendengar adanya sabda atau suara dari alam niskala. Sabda itu menyatakan bahwa asap yang mengarah ke barat daya desa adalah Batara Brahma. Sejak itu bukit itu bernama Andakasa sebagai tempat pemujaan Batara Brahma. Asap yang ke barat laut desa adalah Batara Wisnu menuju Bukit Cemeng didirikan Pura Puncaksari. Asap yang menuju ke utara desa adalah perwujudan Batara Siwa dipuja di Pura Jati. Tiga pura di tiga bukit itulah sebagai arah pemujaan umat di Desa Antiga dan Desa Gegelang.
Pemujaan Batara Brahma di Pura Andakasa ini dibangun di jejeran pelinggih di bagian timur dalam bentuk Padmasana. Di bagian jeroan atau pada areal bagian dalam Pura Andakasa di jejer timur ada empat padma. Yang paling utara adalah disebut Sanggar Agung, di sebelah selatannya ada pelinggih Meru Tumpang Telu. Di selatan meru tersebut ada padmasana sebagai pelinggih untuk memuja Dewa Brahma atau Hyanging Tugu. Di sebelah selatan pelinggih Batara Brahma ada juga dua padmasana untuk pelinggih Sapta Petala dan Anglurah Agung.
Upacara pujawali atau juga disebut piodalan di Pura Andakasa diselenggarakan dengan menggunakan sistem tahun wuku. Hari yang ditetapkan sejak zaman dahulu sebagai hari pujawali di Pura Andakasa adalah setiap hari Anggara Kliwon Wuku Medangsia. Di samping ada pujawali setiap 210 hari, juga diselenggarakan upacara pecaruan setiap Anggara Kliwon pada wuku Perangbakat, wuku Dukut dan wuku Kulantir.
Setiap pujawali di Pura Andakasa pada umumnya diadakan upacara melasti ke Segara Toya Betel di Desa Pengalon. Tujuan melasti ini adalah untuk lebih menguatkan dan memantapkan umat dalam menyerap vibrasi kesucian Ida Batara di Pura Andakasa. Tujuan utama melasti menurut Sundarigama adalah anganyutaken laraning jagat, papa klesa, letuhing bhuwana. Artinya mengatasi penderitaan rakyat, menghilangkan kekotoran (klesa) diri dan untuk menyucikan alam lingkungan dari pencemaran.*
I Ketut Gobyah

PURA SILAYUKTI, PASRAMAN MPU KUTURAN

Pura Silayukti merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali. Pura ini terletak di sebuah bukit bagian timur Desa Padangbai. Pura ini dipercaya sebagai parahyangan Ida Batara Mpu Kuturan, seorang tokoh yang sangat berjasa dalam menata kehidupan sosial religius masyarakat Bali sekitar abad ke-11 Masehi.
Apakah fungsi Pura Silayukti dalam konteks spiritual dan sosial di Bali?
===============================================
Pujawali di pura ini, kata pengayah yang juga prajuru Desa Pakraman Padangbai I Kadek Rena, Selasa (25/4) kemarin di Padangbai, yakni jatuh tiap Buda Kliwon Pahang (enam bulan sekali). Pura lain yang terkait pura ini yakni Pura Telaga Mas, diduga semula pasraman Mpu Kuturan. Selain itu di sebuah goa di timur, di tebing pantai yang curam ada Pura Payogan. Diduga di tempat ini Mpu Kuturan melakukan yoga semadi pada masanya.
Saat ini, pura ini terdiri atas bangunan sederhana berupa beberapa arca di dalam tebing karang yang menyerupai goa dangkal.
Di selatan Pura Silayukti terletak Pura Tanjungsari. Pura ini dipercaya sebagai parahyangan Mpu Baradah, adik Mpu Kuturan.
Mpu Baradah, kata Rena dan Jro Mangku Wayan Marsa -- pemangku di Pura Melanting dan Pura Mumbul, Padangbai ini -- sempat ke Bali. Tujuannya guna memohon kepada kakaknya, Mpu Kuturan, agar salah seorang putra Raja Airlangga di Jawa Timur bisa diangkat menjadi raja di Bali. Namun, Mpu Kuturan tak sependapat.
Sebelum bertolak pulang ke Jawa, Mpu Baradah sempat beberapa waktu tinggal di Bali dan mendirikan parahyangan yang diberi nama Pura Tanjungsari. Pujawali di pura itu jatuh pada Buda Kliwon Matal. Saat pujawali, baik di Pura Silayukti maupun Tanjungsari, persembahyangan juga dilakukan pamedek ke Pura Telaga Mas atau pun ke Pura Payogan.
Mpu Kuturan diperkirakan tiba di Bali pada tahun 1001 Masehi. Tujuannya ke Bali dalam rangka menata kehidupan sosial religius masyarakat Bali. Masalahnya, saat itu kehidupan masyarakat Bali tengah mengalami keguncangan. Banyak terdapat sekte-sekte keagamaan di dalam masyarakat, dan antarsekte itu ternyata tidak rukun.
Di antara sekte-sekte itu, ada enam yang besar dan cukup berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Bali. Raja Bali minta kepada Mpu Kuturan agar menata dan menyatukan masyarakat Bali. Mpu Kuturan yang diangkat sebagai senapati kerajaan pun melakukan pendekatan kepada masyarakat termasuk kepada para pemimpin sekte-sekte besar itu.
Disepakatilah dilakukan paruman di Pejeng di Pura Samuan Tiga. Saat itu, senapati Mpu Kuturan juga sudah dipercaya sebagai Pekira-kira Ijro Makabehan (penasihat semua golongan, kelompok atau sekte).
Berkat pendekatan, pemikiran dan usaha yang dilakukan Mpu Kuturan, sekte-sekte dalam masyarakat Bali itu berhasil lebur dan menyatu (manunggal).
Dalam pesamuan (pertemuan) yang diikuti perwakilan sekte-sekte dan kelompok masyarakat Bali yang saat itu dipimpin Mpu Kuturan itu, kata Rena, dicetuskan konsep sosial religius Tri Murti Tatwa yakni Brahma, Wisnu dan Siwa. Untuk memuja sinar suci atau manifestasi Tuhan itu, di tiap desa pakraman didirikan Pura Kahyangan Tiga.
Di Pura Puseh sebagai tempat pemujaan sinar suci Tuhan dengan manifestasi Wisnu, di Pura Bale Agung/Pura Desa tempat pemujaan Brahma dan di Pura Dalem sebagai tempat memuja sinar suci Tuhan dengan manifestasi Siwa dan saktinya.
Selain itu, di tiap rumah tangga penduduk mesti didirikan sanggah kemulan (rong tiga), juga sebagai tempat pemujaan Tri Murti.
Konsep itu, terkait juga dengan Tri Hita Karana di mana masyarakat Hindu mesti menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan (parahyangan), menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama warga (pawongan) dan menjaga hubungan yang seimbang dengan alam lingkungan (palemahan).
Rena dan Jro Mangku Marsa menambahkan, setelah menginjak usia senja diperkirakan Mpu Kuturan meninggalkan jabatan politik (pensiun) menuju tahapan wanaprastha atau bhiksuka. Mpu Kuturan lantas menetap dan mendirikan parahyangan di timur Desa Padang. Dari sini, dalam yoga semadi dan perenungan-perenungan demi membangun dan lebih memantapkan penataan sosial religius masyarakat Bali terus diajarkan kepada masyarakat tentang dasar-dasar ajaran kebenaran (silayukti). Ajaran-ajaran beliau diduga disampaikan kepada sisya atau warga yang tangkil.
Rena mengatakan dalam sebuah prasasti Padang Subadra berangka tahun 1324 Masehi, diketahui semula wilayah Desa Padang berupa anpadan. Di mana lahan di teluk kecil di tepi pantai dan dikelilingi perbukitan tandus berbatu, dicangkul untuk diolah menjadi ladang tempat bercocok tanam. Desa itu berkembang menjadi Desa Padang.
Pada masa kedatangan penjajah Barat seperti Belanda, desa di tepi pantai dan teluk itu diberi nama Padang Bay (Teluk Padang). Pada perkembangan bahasa dan penulisan, Padang Bay berubah menjadi Padangbai, sehingga desa yang terus berkembang dengan pembangunan pelabuhan penyeberangan Padangbai-Lembar itu kini lebih dikenal dengan Desa Pakraman Padangbai.
Rena dan Jro Mangku Marsa mengatakan, nama Pura Silayukti diduga berasal dari kata dasar ''sila'' diartikan dasar dan ''yukti'' diartikan benar atau kebenaran. Umat yang mamedek di Pura Silayukti itu diharapkan memegang teguh dan menjalankan ajaran kebenaran (agama) yakni Tri Murti Tatwa dan Tri Hita Karana.
Sampai kini krama Desa Pakraman Padangbai dikenal sangat taat dalam menjalankan awig desa. Mereka rajin, trepti (tertib) tiap kali ada ayahan desa. Tiap ada aci atau pujawali di pura lingkungan desa setempat warga setempat yang merantau ke luar desa bahkan ke luar daerah selalu menyempatkan diri pulang kampung untuk bersembahyang.
Sementara persembahyangan umat tak cuma dilakukan pada saat pujawali di Pura Silayukti. Selasa (25/4) kemarin, keluarga besar Pasek Tangkas dari Serai, Desa Pakraman Kembang Merta, Susut, Bangli nuur tirtha ke Pura Silayukti. Hal itu, kata salah seorang pamedek, terkait ngenteg linggih di Pura Panti setempat.

Yasya sarve samarambhah
kama samkalpavarjitah.
Jnanagni dagdhakarmanam
tam ahuh panditam budhah.
(Bhagavadgita.IV.19).

Maksudnya:
Ia yang segala perbuatannya tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya (Niskama Karma),
kepercayaannya dinyalakan oleh api ilmu pengetahuan (Jnyana Agni).
Kepada ia diberikan gelar pandita oleh orang-orang bijaksana.
Mpu Kuturan tokoh spiritual Hindu di abad ke-11 Masehi adalah salah seorang tokoh yang berbuat dengan landasan niskama karma. Artinya, berbuat tanpa pamerih akan hasilnya. Hal ini dilakukan karena Mpu Kuturan sudah sangat yakin akan ajaran Hukum Karma. Setiap perbuatan baik sudah dapat dipastikan akan membuahkan hasil yang baik. Karena itu, Mpu Kuturan hanya berkonsentrasi pada berbuat baik dan benar untuk kepentingan umat manusia dalam artian yang seluas-luasnya.
Berbuat baik dan benar itu dilakukan karena keyakinan Mpu Kuturan sudah demikian disinari oleh api ilmu pengetahuan yang telah beliau capai. Mpu Kuturan tidak kawin karena beliau menempuh hidup Sukla Brahmacari. Jadinya semua umat manusia itu dianggap sebagai saudaranya. Inilah sesungguhnya perilaku seorang yang tepat disebut Pandita.
Pura Silayukti adalah Pura Pasraman Mpu Kuturan. Mpu Kuturan-lah salah satu tokoh spiritual Hindu di masa lampau yang sangat tepat diberikan gelar Pandita ahli yang juga disebut Brahmanasista dalam pustaka Manawa Dharmasastra. Mpu Kuturan yang nama prinadi beliau Mpu Rajakerta. Beliaulah yang pernah menjabat Senapati Kuturan di Bali pada abad ke-11 Masehi.
Mpu Rajakerta pada awalnya sebagai kesatria karena menjabat Senapati Kuturan. Setelah selesai menjabat Senapati Kuturan barulah beliau sebagai Bhagawanta Kerajaan Bali dengan gelar sebagai Mpu. Selanjutnya lebih populer dengan sebutan atau abhiseka nama Mpu Kuturan dengan asrama di Pura Silayukti.
Di Pasraman Pura Silayukti ada empat kompleks tempat pemujaan. Di bagian utara adalah pura sebagai tempat pemujaan Mpu Kuturan. Beliau dipuja di Meru Tumpang Tiga menghadap ke selatan. Meru Tumpang Tiga inilah sebagai pelinggih utama di kompleks Pura Pasraman Mpu Kuturan. Di barat agak ke utara dari Pura Pasraman Mpu Kuturan ini terdapat Pura Taman Beji sebagai tempat memohon tirtha sebagai sarana utama pada saat upacara di Pura Pasraman Silayukti.
Di kompleks bagian selatan dari Pura Pasraman Mpu Kuturan terdapat kompleks pura sebagai tempat pemujaan Mpu Bharadah. Di pura ini Mpu Bharadah dipuja di Meru Tumpang Tiga juga, cuma menghadapi ke barat. Sedangkan tempat meditasi Mpu Kuturan sebagai kompleks keempat terletak di bagian timur bukit Silayukti agak turun ke bawah menghadap ke timur di mana akan kelihatan laut yang membiru.
Kalau saat bulan purnama dengan berpadu pada pemandangan laut kita melakukan meditasi di tempat ini sungguh sangat menggetarkan spiritual kita. Karena keadaan alam ciptaan Tuhan itu demikian mempesona bagi mereka yang memiliki minat spiritual.
Mpu Kuturan adalah salah seorang dari lima orang suci yang berjasa menata kehidupan keagamaan Hindu di Bali. Lima orang suci yang bersaudara itu disebut Panca Pandita atau Panca Tirtha. Beliau itu adalah Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah. Yang paling banyak berjasa menata kehidupan sosial religius Hindu di Bali adalah Mpu Kuturan. Hal ini dinyatakan dalam berbagai pustaka kuna yang ditulis dalam daun lontar.
Dalam Lontar Usana Dewa dinyatakan Mpu Kuturan-lah yang mengajarkan cara-cara mendirikan tempat pemujaan atau kahyangan seperti Kahyangan Jagat di Bali.
Dalam Lontar Kusuma Dewa juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Pura Sad Kahyangan di Bali dengan landasan konsepsi Sad Winayaka.
Dalam lontar yang berjudul ''Mpu Kuturan'' juga dinyatakan Mpu Kuturan yang mengajarkan tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali. Penataan Pura Besakih lebih lanjut juga dilakukan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa beliau itu Mpu Kuturan distanakan di Meru Tumpang Sembilan di Pura Peninjoan. Pura Peninjoan ini termasuk kompleks Pura Besakih.
Menurut Lontar Babad Bendesa Mas dan Lontar Kusuma Dewa, antara Pura Kentel Gumi, Pura Dasar di Gelgel dan Pura Goa Lawah yang mempunyai hubungan historis juga sama-sama didirikan oleh Mpu Kuturan. Karena jasa-jasa beliau itu di berapa Pura Kahyangan Jagat, Mpu Kuturan dimuliakan dalam Pelinggih Manjangan Saluwang. Demikian hampir di setiap pemujaan keluarga Hindu di Bali yang disebut Sanggah Gede atau Merajan Agung, Mpu Kuturan juga dimuliakan di Pelinggih Manjangan Saluwang.
Jadinya Mpu Kuturan sangat berjasa dalam menata kehidupan manusia dan alam Bali berdasarkan ajaran Hindu. Hal inilah menyebabkan Bali sampai mendapat julukan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Kalau kita perhatikan Mpu Kuturan bukan milik suatu wangsa atau warga tertentu.
Yang patut kita renungkan lebih dalam tentang pendirian Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali sebagai pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti. Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti bukan untuk menyatukan adanya sekte-sekte Hindu yang bermusuhan. Para guru besar yang ahli ilmu purbakala di Bali yang pernah saya tanyakan menyatakan bahwa tidak ada catatan sejarah bahwa sekte-sekte Hindu di Bali pernah bermusuhan, apalagi berperang.
Tujuan Mpu Kuturan mengajarkan pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti adalah untuk menguatkan umat dalam melakukan upaya Utpati, Stithi dan Pralina. Utpati artinya giat menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan. Stithi artinya dengan sungguh-sungguh memelihara dan melindungi sesuatu yang seyogianya dipelihara dan dilindungi.
Pralina maksudnya meniadakan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Pralina bukan berarti merusak. Misalnya menghilangkan kebiasaan mabuk, apalagi saat merayakan hari raya keagamaan. Misalnya menghilangkan kebodohan dan kemiskinan dengan cara-cara yang baik, wajar dan benar. Itu juga tergolong kegiatan hidup yang termasuk pralima. Melakukan upaya Upati, Stithi dan Pralina tidaklah segampang teorinya. Melakukan hal itu perlu ada tuntutan Tuhan melalui pemujaan Dewa Tri Murti di Kahyangan Tiga.
* I Ketut Gobyah

Minggu, 13 Juli 2014

PURA SEGARA RUPEK


Segara Rupek berada di ujung Barat Pulau Bali yaitu di Selat Bali. Dari sinilah sesungguhnya jarak terdekat antara Bali dan Tanah Jawa yang berada disebelah Baratnya. Ujung Barat daratan Bali tampak jelas diseberang dengan lokasi terkait diujung Timur tanah Jawa yang dinamakan Batu Dodol di Wilayah Banyuwangi Jawa Timur.

Kisah tentang pemisahan Bali dengan Jawa, sehingga Bali menjadi satu pulau yang utuh, ceritanya adalah:

  Prasasti Pasek Berjo Selunglung menyuratkan bahwa Segara Rupek terbentuk setelah Dang Hyang Sidhimantra beryoga semadi memohon keselamatan seisi jagat termasuk untuk keselamatan putra tunggalnya yang bernama Manik Angkeran, yang dipersembahkan sebagai pengayah atau pekerja pembantu kepada Ida Betara Sanghyang Naga Basuki di Besakih, Bali.

Dalam Yoga Semadi kehadapan Sanghyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni sebagai Penguasa Samudra Raya, Dang Hyang Sidhimantra dititahkan supaya mengoreskan tongkat tiga kali ketanah, tepat di jalan ceking atau ruas jalan yang paling sempit. Akibat goresan tongkat tersebut, air laut terguncang, bergerak membelah bumi. Maka daratan tanah Bali dan Tanah Jawa yang satu itu pun terpisah oleh lautan. Jawa dan Bali pun terpisah, jadilah Segara Rupek atau Lautan Sempit yang kini dinamakan Selat Bali.

Dang Hyang Sidhimantra Keturunan Sapta Rsi

Sapta Rsi atau Tujuh Pandhita, adalah leluhur orang Bali dari kelompok Warga Pasek Sanak Pitu. Ke tujuh Resi yang menurunkan Pasek Sanak Pitu adalah : Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Widnyana, Mpu Witadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka dan Mpu Dangka. Ke tujuh pandhita ini adalah putra-putra dari Mpu Agni Jaya yang berasrama di Gunung Lempuyang. Sebelumnya beliau bergelar Sang Brahmana Pandhita. Beliau besaudara lima, yaitu Sang Brahmana Pandhita sendiri, Mpu Semeru yang berasrama di Besakih, Mpu Gana di Gelgel, Mpu Kuturan di Silayukti dan Mpu Bradah di Kahuripan. Kelima Pandhita tersebut diatas disebut Panca Tritha. Kelima Pandhita itu adalah putra-putra Bhatara Hyang Agni Jaya yang beristhana di Gunung Lempuyang.

Sedangkan Bhatara Agni Jaya adalah putra dari Sanghyang Pasupati, yaitu Ida Hyang Widhi, yang bersthana di Gunung Mahameru India. Bhatara Hyang Agni Jaya adalah termasuk Asta Dewata, yang dianggap sebagai putra-putra Hyang Pasupati. Asta Dewata itu adalah :1.Bhatara Mahadewa bersthana di Gunung Agung, 2.Bhatara Hyang Putra Jaya juga bersthana di Gunung Agung, 3. Bhatara Danuh di Ulun Danu Batur, 4. Bhatara Hyang Agni Jaya sendiri bersthana di gunung Lempuyang, 5. Bhatara Tumuwuh bersthana di Gunung Batukaru, 6. Bhatara Manik Gumayang bersthana di Pejeng, 7. Bhatara Manik Galang bersthana di Pejeng, 8. Bhatara Hyang Tugu di Bukit Andakasa.

Tampak sekali dalam uraian diatas, bahwa setelah Panca Pandhita keatas lalu dihubungkan dengan Dewa-dewa manifestasinya Tuhan (Asta Dewata). Hal ini membuktikan bahwa leluhur diatas itu tidak dapat dilacak lagi. Namun kendati pun demikian, pengkaitan dengan asta dewata lalu kepada Hyang Pasupati yang bersthana di Gunung Mahameru, adalah merupakan petunjuk bahwa leluhur Panca Tirtha itu adalah berasal dari para Brahmana India, dari sekte keagamaan Siva (mazab Siva). Dan Pandhita-pandhita yang datang ke Indonesia dari India itu adalah dari Garis Perguruan (Pasramaan) Maharkandya dan Agastya. Boleh jadi Panca Pandhita itu leluhurnya adalah garis perguruan Agastya, sebagai pusat pengajaran mazab Siva.

Panca Pandita itu, konon mereka berguru ke India setelah selesai pendidikannya dan setelah didiksa mereka kembali ke Indonesia. Di Jawa mula-mula mereka mengajarkan agamanya. Kemudian setelah Mahendradatta kawin ke Bali, empat dari lima saudara itu pun ikut turun ke Bali untuk mengajarkan Agama Hindu. Berturut-turut datang ke Bali :

1. Mpu Semeru. Beliau adalah pemeluk sekte Siva, beliau datang ke Bali tahun 999 Masehi, beliau membuat pasraman di Besakih.

2. Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya (sub sekte Siva). Beliau sampai di Bali pada tahun 1000 Masehi. Beliau mendirikan Pasraman di Gelgel.

3. Mpu Kuturan pengikut sekte Tantrayana (sumber lain mengatakan Buddha Mahayana). Beliau datang ke Bali pada tahun 991 Masehi. Di Bali beliau menjadi Brahmarsi dengan berasrama di Silayukti Padang.

4. Mpu Gni Jaya. Beliau ke Bali tahun 1006 Masehi. Beliau berparahyangan di Gunung Lempuyang. Beliau adalah penganut Sekte Brahmanisme. Di tempat bekas Pasraman beliau sekarang telah berdiri sebuah pura Lempuyang Madia.

Mpu Bradah tidak ikut ke Bali. Beliau menetap di Jawa, mendampingi Prabhu Airlangga.Di Bali Mpu Agni Jayalah yang menjadi leluhur langsung Warga Pasek Sanak Pitu, melalui putra-putra beliau Sanak Sapta Rsi.

Mpu Bradah adalah saudara terkecil dari lima Rsi. Beliau tinggal di Jawa menjadi Bhagawannya Prabhu Airlangga. Beliau berasrama di Lemah Tulis, Pejarakan Jawa Timur. Beliau adalah pengikut Buddha Mahayana, sekte Bajrayana.

Mpu Bradah berputra dua orang, yaitu : Mpu Siwagandhu, dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratnamanggali putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah, menurunkan Mpu Wira Angsokanatha, yang bergelar Mpu Tantular.

Mpu Tantular berputra 4 orang, yaitu : 1 Mpu Siddhimantra, 2. Mpu Panawasikan, 3. Mpu Smaranatha dan 4. Danghyang Kepakisan. Rupa-rupanya ke empat Mpu ini telah lahir pada jaman Singosari. Dan Mpu Tantular betul-betul umurnya sangat panjang. Mungkin mencapai seratus tahun lebih.

Dalam garis keturunan ini Mpu Sidhimantra hanya berputra seorang, yaitu Wang Bang Manik Angkeran. Ketika mudanya Manik Angkeran gemar berjudi sabungan ayam. Oleh karena itu ia diasramakan di Besakih untuk menghamba Hyang Besuki yang berwujud Naga. Ia pun mengambil genta ayahnya. Lalu di rapalkan Veda Nagastawa. Maka keluarlah Hyang Besuki. Pada puncak ekornya terdapat manik yang sangat gemerlapan, Wang Bang Manik Angkeran yang bebotoh, tergiur hatinya ingin memiliki manik itu, yang nantinya akan dijual. Maka dipotonglah ekor Naga Basuki itu. Hyang Basuki pun menjadi marah, lalu tubuh Wang Bang Manik Angkeran dijilatnya. Seketika Wang Bang Manik Angkeran menjadi abu. Hal ini segera diketahui oleh ayahnya. Mpu Sidhimantra dengan kesidiannya dapat menyambung ekor naga Basuki itu. Dan Wang Bang Manik Angkeran pun dihidupkan kembali. Akhirnya Manik Angkeran pun bertobat. Sejak itu Manik Angkeran berhenti berjudi, lalu menekuni bidang agama. Kemudian ia mediksa atau disucikan menjadi Mpu dengan gelar Danghyang Manik Angkeran. Beliau beristri dua. Seorang Widyadari dan seorang lagi dari warga biasa.

Keturunan Wang Bang Manik Angkeran sekarang tersebar di Bali, adalah generasi penerus Dang Hyang Sidhimantra pencipta Segara Rupek Selat Bali. Secara sosiologi pemisahan Bali-Jawa di Segara Rupek dimaksudkan oleh Dang Hyang Sidhimantra justru guna memproteksi kesucian Bali dari ancaman migrasi penduduk berlebihan, disamping untuk menekan angka tindak kriminal.

Kamis, 10 Juli 2014

Pesona Gunung Batur
















 Batur merupakan sebuah desa pegunungan yang terletak di Penelokan Utara, kecamatan Kintamani, sampai tahun 1926 merupakan desa makmur yang berada di kaki Gunung Batur.
Jika Anda memasukkan Batur ke dalam daftar destinasi Anda di Bali, pasti Anda tidak akan kecewa. Batur memiliki potensi wisata dan panoramanya yang sangat menarik, seperti Gunung Batur dan Danau Batur. Belum lagi udaranya yang sejuk pada siang hari dan dingin pada malam hari menjadikan tempat ini banyak dikunjungi oleh para wisatawan.
Jika Anda berdiri di penelokan (dalam bahasa Bali yang berarti tempat untuk melihat-lihat) terletak di wilayah Desa Kedisan, Kintamani, merupakan lokasi yang paling strategis untuk menikmati pemandangan alam di kawasan wisata ini. Mata Anda akan takjub melihat pemandangan di bawah yang sangat menakjubkan kombinasi antara Gunung Batur beserta hamparan bebatuan hitam dengan Danau Batur yang berbentuk  bulan sabit berwarna biru di tengah kaldera yang oleh banyak wisatawan dikatakan sebagai kaldera terindah di dunia.

Sabtu, 05 Juli 2014

PURA SEBATU



Pelukatan ring pura sebatu bersama

Adapun lokasinya yg terletak di Banjar Sebatu, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang , kabupaten Gianyar.  kira-kira 40 Km dari Kota Denpasar atau 21 Km dari Kota Gianyar. Tempat ini dapat dikunjungi dengan mudah melalui desa Peliatan atau melalui Tampaksiring, melalui hamparan sawah yang indah, diantara desa-desa yang mempunyai seni kerajinan yang baik, terutama karya seni pahat. Ada salah satu tradisi di bali yang sampai sekarang belum ditinggalkan oleh masyarakatnya, yaitu membersihkan diri memakai air suci atau lebih dikenal dengan istilah “melukat”. Ada beberapa tempat suci yang mungkin sudah pernah anda kunjungi untuk melukat, seperti Tirta Empul Tampaksiring. Akan tetapi sama halnya dengan tempat pelukatan di Tampak Siring, ada salah satu tempat untuk melukat yang tempatnya di Desa Sebatu Tegallalang, Gianyar, Bali.
Hal yang unik dari tempat ini adalah ketika anda melukat, air dari badan anda akan berwarna buih seperti air sabun ketika habis mandi. Penduduk setempat meyakini bahwa anda memiliki kotoran atau penyakit baik medis maupun non medis. Tempat melukat ini bukan tempat wisata sebetulnya, karena tempat pemandian melukat ini masih terkesan keramat. Jarang sekali ada pengunjung yang datang kalau tidak untuk melukat di tempat ini. Lain halnya dengan Pura Tirta Empul ataupun Pura Gunung kawi Sebatu kecuali di hari hari tertentu seperti purnama kajeng kliwon ( penanggalan Bali ). Menurut penjaga tempat melukat tersebut di katakan, jika di hari tersebut tempat ini bisa lebih ramai daripada pura Kawi Sebatu ataupun Tirta Empul. Yang buat penasaran adalah tentang berubahnya warna air jika seseorang melukat atau mandi di bawah air terjun kecil tersebut.
Bilamana dalam diri orang yang mandi tersebut terdapat sesuatu hal yang negatif maka air akan berubah keruh keputihan. Tergantung seberapa besar hal negatif yang ada dalam diri seseorang tersebut. Hal negatif ini biasanya berupa perbuatan magic seseorang atau perilaku orang tersebut. Sebelum seseorang melakukan melukat maka di haruskan berdoa terlebih dahulu untuk mohon berkat dalam melukat nantinya di Pura kecil persis di atasnya pemandian. Baru kemudian di perkenankan melukat. Banyak dari pengunjung juga membawa uang kepeng untuk di buang di sana, membuang hal negatif. Airnya cukup dingin dan menyegarkan melebihi pemandian di Pura Sebatu atau Tirta Empul. Orang di luar agama hindu pun boleh ikut melukat asal mengenakan kain dan sabuk seperti halnya orang-orang  yang melukat di sana. Para pengunjung yang sudah selesai melakukan melukat akan merasakan segar dan ringan tanpa beban. Seolah-olah lepas dari semua permasalahan.
Adapun sarana-sarana untuk penangkilan atau melukat disini yaitu:
  1. Daksina Pejati, terutama bagi yang baru pertama kali melukat di tempat ini.
  2. Pejati yang dibawa hendaknya berisi pisang atau biu kayu dan berisi bunga tunjung warna bebas.
  3. Sarana muspa menggunakan kewangen dengan menggunakan bunga jempiring, sekar tunjung biru dan pis bolong (uang bolong) 11 kepeng.
  4. Pakaian yang dipakai untuk nangkil yaitu pakaian adat bali, dimana pada saat melukat boleh hanya memakai kain kamen dan disarankan untuk tidak memakai perhiasan.
Tata cara melukat adalah sebagai berikut :
  1. Melakukan persembahyangan di pelinggih Pura Dalem Pingit dan Kusti yang  letaknya agak diatas dari tempat pesiraman, dengan menggunakan sarana kewangen. Biasanya dipimpin oleh pemangku pada saat hari keagamaan seperti purnama, kajeng kliwon, dsb.
  2. Usai sembahyang, kewangen yang ada  uang kepengnya dibawa kelokasi melukat. Caranya kewangen di letakan di depan jidat atau ubun ubun seperti saat kita  muspa, dengan membasahi kepala dan ubun ubun, Setelah kepala basah lepas kewangan agar hanyut bersama air.
  3. Setelah selesai melukat, pemedek sembahyang sekali lagi di pelingih yang ada di dekat batu, sekalian nunas tirta dan bija.
Disamping itu menurut pemangku setempat, Wanita yang lagi dapet tamu bulanan ( cuntaka ) dan anak kecil yang  belum ketus gigi tidak diperbolehkan ikut melukat di tempat ini karena akan menangis terus menerus. Jangan kaget bila pada saat melukat kita menjumpai ada penangkil yang nangklang-nengkleng seperti tarian rangda dan mengeluarkan suara suara seram atau aneh, bahkan banyak pula yang kerauhan, dan banyak lagi keanehan dan aura magis yang lainnya. Di areal paling ujung bagi pemedek yang sudah selesai melukat telah  disiapkan tempat untuk ganti pakaian, kemudian pulang menyusuri jalan setapak yang penuh tanjakan dengan anak tangga yang sedikit licin namun tetap mengasikkan karena udaranya yang segar dengan diiringi kicauan burung mendayu.


Pura Tirta Kuning









Keindahan bali karena keunikan berbagai stana Ida Sang Hyang Widhi
salah satunya adalah pura tirta kuning,,, yang lokasinya cukup jauh dari rumah penduduk wanagiri maupun gobleg. Namun hal itu tak menyurutkan niat kami untuk melihatnya. jalan setapak dan hujan menemani canda tawa kami menuju area pura dalam goa batu.

Pura Tirta Kuning Berisi Air Lima Warna

Dipercaya Mampu Hilangkan "Gering"


Selain memiliki alam yang indah, kawasan Banjar Asah Panji Kelod Desa Wanagiri Kecamatan Sukasada ternyata memiliki sebuah pura yang unik. Namanya Pura Tirta Kuning. Di areal pura itu terdapat air lima warna yang dipercaya bisa menghilangkan gering atau hama di daerah pertanian di sekitarnya.

SELAMA ini, kawasan Asah Panji memang biasa didatangi turis yang melakukan trekking atau sekedar jalan-jalan melihat pemandangan alam. Selain menikmati alam bukit, sungai dan sejumlah air terjun di sekitar kawasan itu, turis juga bisa menikmati aura spiritual di daerah tersebut. Untuk itulah, masyarakat di Desa Wanagiri sepakat mengembangkan kawasan itu sebagai kawasan wisata spiritual.
Umat Hindu di Bali memang belum banyak yang mengetahui pura dengan air lima warna di Banjar Asah Panji Kelod Desa Wanagiri tersebut. Padahal, kekuatan dari pura itu dipercaya mampu menghilangkan gering atau hama pada areal pertanian dan desa.

Pancuran panca lingga yang ada di Dusun Asah Panji Wanagiri yakni pancuran yang menghadap ke timur mengeluarkan air warna kuning, pancuran menghadap ke barat mengeluarkan air warna putih, pancuran menghadap ke selatan mengeluarkan air hitam, pancuran menghadap ke utara mengeluarkan air warna merah dan di tengah-tengah air lima warna.

Air yang muncul dari Pura Tirta Kuning juga disebut tirta amerta wisya. Pada pancuran, pemedek yang datang tidak diperbolehkan mandi karena pancuran itu merupakan pesucian Ida Betara dan Betari. Sesuai lontar, air itu juga tidak boleh diminum karena mengandung bisa atau racun sehingga disebut tirta amerta wisya. Tirta tersebut hanya untuk keperluan pasupati atau menghilangkan gering pada areal pertanian dan desa. Air suci ini juga diperbolehkan untuk wangsuhpada di khayangan-khayangan sehingga disebut juga tirta sudamala.